The State Penghulu vs The Non-State Penghulu: The Validity and Implementing Authorities of Indonesian Marriage

  • Al Farabi Ph.D Student Leiden Institute for Area Studies (LIAS), The Netherlands and Faculty of Sharia Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Abstract views: 439 , PDF downloads: 243
Keywords: Marriage Registration, Isbath Nikah, the State Penghulu, the Non-State Penghulu

Abstract

This research gives rise to the following questions: What is a valid marriage? Who holds the authority to grant it? Moreover, how does the existing authority(s) manifest among societies? This inquiry employs the socio-legal method by relying on doctrinal and empirical (ethnographic) approaches to answer these questions. The doctrinal approach applies to the first question and looks at how both the law and case law define a valid marriage. The ethnographic approach applies to the last two questions and looks at this law's functioning among society. As a result, this study reveals that the Marriage Law utilized registration to force people to comply with the law; otherwise, a religious marriage would not have the law force. An exemption applies only to marriages before enacting the Marriage Law, which is liable for retroactive validation. Later, this procedure is extended through case laws that apply isbath nikah (marriage validation) retroactively even to marriages after 1974 to accommodate unregistered marriages pervasive among society. The extended use of isbath nikah has made registration a mere administrative matter which no longer stands as a restriction to a religious marriage. Second, in practice, the judges’ lenient attitude toward isbath nikah has blurred the distinction between registered and unregistered marriages. The fluid distinction between these two provides a basis for Non-State Penghulus to exercise their authority alongside the State Penghulu. In this sense, the Non-State Penghulu appears as an alternative to the State Penghulu invalidating marriage among Muslims.

Penelitian ini mendorong pertanyaan-pertanyaan berikut: apa yang dimaksud dengan perkawinan sah? Siapa yang berwenang menentukan keabsahan suatu perkawinan? Dan bagaimana otoritas (ragam otoritas) di bidang ini mengambil bentuk di tengah masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan metode sociolegal dengan mengandalkan pendekatan doktriner dan empiris (etnografi). Pendekatan doktriner digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama dengan melihat baik peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun putusan-putusan pengadilan yang terkait. Pendekatan empiris digunakan untuk menjawab dua pertanyaan lainnya dengan melihat bagaimana aturan dogmatik tersebut berfungsi di tengah masyarakat. Sebagai hasilnya, pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan memenfaatan pencatatan sebagai mendium untuk memaksa masyarakat agar patuh terhadap hukum karena jika tidak maka sebuah perkawinan menjadi tidak berkekuatan hukum. Pengecualian hanya berlaku terhadap perkawinan yang diselenggarakan sebelum Undang-Undang Perkawinan yang masih bisa disahkan secara retroaktif. Belakangan prosedur ini diperluas dalam putusan-putusan pengadilan yang memberlakukan isbath nikah (pengesahan perkawinan) untuk mengesahkan perkawinan tidak tercatat, termasuk perkawinan setelah 1974 guna mengakomodir perkawinan tidak tercatat yang marak di tengah masyarakat. Perluasan isbath nikah ini selanjutnya menjadikan pencatatan ini perkara administrasi bukan sebagai pembatas terhadap perkawinan yang dilakukan secara agama semata. Kedua, dalam praktik, sikap lunak hakim dalam menggunakan isbath nikah telah mengaburkan perbedaan antara perkawinan tercatat dengan perkawinan tidak tercatat. Hal ini selanjutnya memberikan landasan bagi Penghulu Non-Negara untuk terus berperan di samping Penghulu Negara. Dalam hal ini, Penghulu Non-Negara muncul sebagai alternatif bagi Penghulu Negara dalam mengabsahkan perkawinan secara agama di kalangan muslim.

References

Journal

Abidin, Zainal. “Peran Penghulu Dalam Pelayanan Pernikahan Poligami Bagi Warga Negara Asing.” Jurnal Studi Islam Al-’Ulum 2, no. 15 (2019): 95–108.

Cammack, Mark. “Indonesia’s 1989 Religious Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonesianization of Islam?” Indonesia, no. 63 (1997): 143–168.

El-Saha, Muhammad ishom. “Penghulu and Marriage Problematics of Boundary Society in Entikong and Sekayam West Kalimantan.” AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 19, no. 2 (December 30, 2019). https://doi.org/10.15408/ajis.v19i2.13178.

Emalia, Imas. “Penghulu dan Kyai di Karesidenan Cirebon Semangat Keberagamaan dan Berpolitik pada Awal Abad ke-20.” Buletin Al-Turas 12, no. 2 (2006): 143–53. https://doi.org/10.15408/bat.v12i2.4228.

Farabi, Al. “Budaya ‘Kawin Kyai’ Studi Terhadap Praktek Nikah Sirri Di Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon.” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 4, no. 1 (2016): 21–56.

Geertz, Clifford. “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker.” Comparative Studies in Society and History 2, no. 2 (1960): 228–249.

Hasbi, Muhammad. “Dita Milenial Dalam Moderasi Peningkatan Pelayanan Penghulu (Studi Kasus Di KUA Parindu).” Jurnal Bimas Islam 12, no. 2 (December 27, 2019): 233–62. https://doi.org/10.37302/jbi.v12i2.117.

Hisyam, Muhamad. “Potret Penghulu dalam naskah Sebuah pengalaman penelitian.” Wacana 7, no. 2 (October 1, 2005): 129–37. https://doi.org/10.17510/wjhi.v7i2.298.

Ichwan, Moch Nur. “‘Ulamā’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Suharto.” Islamic Law and Society 12, no. 1 (2005): 45–72.

Muttaqien, Zedi, and Toni Albar. “Peran Penghulu Lingkungan Dalam Proses Perkawinan Sebelum Dan Sesudah Keluarnya PP No.48 Tahun 2014 Di Lingkungan Banjar Kelurahan Banjar Kecamatan Ampenan Kota Mataram.” CIVICUS : Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan 4, no. 1 (April 30, 2016): 66–76. https://doi.org/10.31764/civicus.v4i1.327.

Nurlaelawati, Euis. “Pernikahan Tanpa Pencatatan: Isbat Nikah Sebuah Solusi?” Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam 12, no. 2 (July 1, 2013): 261–77. https://doi.org/10.14421/musawa.2013.122.

Pompe, Sebastian. “Mixed Marriages in Indonesia: Some Comments on the Law and the Literature.” Bijdragen Tot de Taal-, Land-En Volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 144, no. 2 (1988): 259–275.

Pompe, Sebastian. “A Short Note on Some Recent Developments with Regard to Mixed Marriages in Indonesia.” Bijdragen Tot de Taal-, Land-En Volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 147, no. 2 (1991): 261–272.

Rasmianto, Rasmianto. “Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat Dalam Tradisi Islam Wetu Telu di Lombok.” El-HARAKAH (TERAKREDITASI) 11, no. 2 (August 30, 2009): 138–54. https://doi.org/10.18860/el.v0i0.429.

Susetyo, Heru. “Pencatatan Perkawinan Bagi Golongan Penghayat.” Jurnal Hukum & Pembangunan 28, no. 1–3 (2017): 149–168.

Syamsurrizal, Entus, and Yani Kurnia Sari. “Peran Penghulu Terhadap Pelaksanaan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:” Jurnal Bimas Islam 11, no. 3 (September 30, 2018): 601–31. https://doi.org/10.37302/jbi.v11i3.64.

Van Huis, Stijn, and Theresia Dyah Wirastri. “Muslim Marriage Registration in Indonesia: Revised Marriage Registration Laws Cannot Overcome Compliance Flaws.” Australian Journal of Asian Law 13, no. 1 (2012): 1–17.

Wahyudi, Muhamad Isna. “Judge’s Discretion In Islamic Family Law: Indonesian Religious Courts Experience.” Jurnal Hukum Dan Peradilan 3, no. 3 (2014): 203–212.

Book

Bowen, John Richard. Religions in Practice: An Approach to the Anthropology of Religion. Seventh edition. London New York, NY: Routledge, 2018.

Haem, Nurul Huda. Awas! Illegal Wedding: Dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan. Jakarta: Hikmah, 2007.

Hisyam, Muhamad. Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under the Dutch Colonial Administration, 1882-1942. Jakarta: INIS, 2001.

Horikoshi, Hiroko. Kyai Dan Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1987.

Isma’il, Ibnu Qoyim. Kiai Penghulu Jawa : Peranannya Di Masa Kolonial. Bandung: Gema Insani Press, 1997.

Jan Michiel, Otto. Sharia Incorporated. A Comparative Overview of the Legal Systems of Twelve Muslim Countries in Past and Present. Leiden: Leiden University Press, 2010.

Lev, Daniel S. Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions. Berkeley: University of California Press, 1972.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2017.

Nasution, Khoiruddin. Hukum Perkawinan I. Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005.

Noer, Deliar. Administrasi Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1983.

Nurlaelawati, Euis. Modernization, Tradition and Identity. Legal Practice in the Indonesian Religious Courts. Amsterdam: ICAS/Amsterdam University Press, 2010.

Platt, Maria. Marriage, Gender and Islam in Indonesia: Women Negotiating Informal Marriage, Divorce and Desire. Women in Asia Series 51. London ; New York: Routledge, Taylor & Francis Group, 2017.

Rahim, Husni. Sistem Otoritas Dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan Dan Kolonial Di Palembang. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.

Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hillco, 1986.

Salim, Arskal. Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press, 2008.

Dissertation

Huis, Stijn Cornelis van. “Islamic Courts and Women’s Divorce Rights in Indonesia: The Cases of Cianjur and Bulukumba.” Doctoral Thesis, Van Vollenhoven Institute, Faculty of Law, Leiden University, 2015.

Riadi, Edi. “Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang Perdata Islam.” Doctoral Thesis, UIN Syarif Hidayatullah, 2011.

Interview

Abdullah. Interview. P3N of Sinarrancang Village, Mundu, Cirebon, July 6, 2013.

Ansari. Interview. Kyai Kampung of Sinarrancang Village, Mundu, Cirebon, July 11, 2013.

Saifuddin. Interview. Kyai Kampung of Sinarrancang Village, Mundu, Cirebon, July 9, 2013.

PlumX Metrics

Published
2020-12-17
Section
Articles