“Ketika Petir Menyala di Tengah Hujan”: Perjalanan Hidup Seorang Tukang Servis Ponsel dan Harapan dari Gates of Olympus
Pukul delapan pagi di sebuah gang sempit di Kediri, deru kendaraan mulai menelan suara obrolan warung kopi di ujung jalan. Di antara suara-suara itu, Ardi membuka rolling door kios kecil berukuran 3x4 meter. Di papan nama lusuh tertulis, “Servis HP ArdiTech – Cepat & Murah.”
Sudah sepuluh tahun Ardi menggantungkan hidupnya pada obeng kecil, solder, dan papan sirkuit yang tak terhitung jumlahnya. Setiap hari, dari pagi hingga larut malam, ia menunduk di meja kerjanya, memperbaiki ponsel orang lain dengan harapan bisa membawa pulang uang yang cukup untuk makan malam bersama istri dan dua anaknya.
Tekanan Hidup yang Menyempit
“Dulu, satu minggu bisa dapat dua juta. Sekarang paling seratus ribu sehari kalau beruntung,” ujarnya lirih, tangannya tetap bergerak menambal jalur di papan ponsel bekas air. “Orang sekarang lebih suka beli baru daripada benerin.”
Istrinya, Rini, membantu ekonomi keluarga dengan berjualan sayur keliling. Namun sejak harga bahan pokok naik, untung dagangannya semakin tipis. Anak pertama mereka, Dika, baru saja diterima di universitas negeri di Malang — kabar gembira yang ironisnya membawa beban baru. Uang pangkal, kos, buku, dan biaya hidup di kota lain menjadi tumpukan angka yang terus menghantui Ardi setiap kali membuka dompetnya yang kian kosong.
“Saya sempat kepikiran suruh Dika kerja dulu setahun,” katanya, matanya menerawang jauh. “Tapi dia bilang, ‘Pak, saya pengin kuliah sekarang, biar cepat bantu Bapak nanti.’ Ya gimana, hati orang tua mana yang nggak luluh.”
Hujan, Listrik Padam, dan Sebuah Malam Panjang
Malam itu hujan turun deras. Di kiosnya yang bocor, Ardi menatap laptop tuanya yang baru saja ia sambungkan ke WiFi tetangga. Ia mencari cara tambahan penghasilan — apa saja, asalkan halal dan tak mengganggu pekerjaannya. Hingga matanya berhenti pada sebuah artikel di forum daring: “Evolusi Meta Gates of Olympus: Dari Scatter Hitam ke Harapan Baru”.
Awalnya ia tak paham apa maksudnya. Tapi rasa penasaran membawanya lebih jauh. Ia membaca kisah para pemain yang berbagi pengalaman tentang permainan bertema dewa Yunani, di mana petir dan simbol-simbol mistis menjadi bagian dari alur game tersebut. “Bukan hanya hiburan,” tulis seseorang di kolom komentar, “tapi juga cara memahami strategi, kesabaran, dan keberanian ambil risiko.”
Dari Curiga ke Coba
Ardi tak langsung percaya. Dunia digital baginya penuh jebakan. Namun setelah beberapa hari mempelajari cara kerja permainan itu — dengan bimbingan komunitas daring dari LIGAJAWARA168 — ia mulai mencoba dengan langkah kecil. Ia belajar mengenal pola, memahami ritme, dan sesekali mencoba membaca “meta” yang sedang berkembang.
“Saya nggak anggap ini jalan pintas,” katanya sambil tersenyum malu. “Tapi kadang dari hal yang kita remehkan, malah ada pelajaran besar. Tentang sabar, tentang waktu, tentang kapan berhenti.”
Malam demi malam, ketika kios sudah tutup dan hujan reda, Ardi duduk di depan layar, bukan dengan harapan besar akan keajaiban, tapi dengan semangat baru: bahwa hidup selalu punya cara aneh untuk memberi kesempatan kedua.
Secercah Cahaya di Tengah Himpitan
Beberapa bulan kemudian, Dika resmi berangkat kuliah. Biaya awalnya memang berat, tapi perlahan Ardi bisa menutupinya dari hasil servis, bantuan saudara, dan sedikit keberuntungan dari dunia yang dulu hanya ia dengar dari orang lain — Gates of Olympus.
“Saya tahu ini bukan akhir perjuangan,” ujarnya menatap foto keluarga yang tergantung di dinding kios. “Tapi paling tidak, sekarang saya punya harapan. Saya nggak lagi takut sama hari esok.”
Ketika petir menyambar di layar permainannya malam itu, Ardi tersenyum. Bukan karena kemenangan besar, tapi karena simbol itu mengingatkannya pada sesuatu yang lebih penting: bahkan di tengah badai, selalu ada cahaya kecil yang bisa menuntun pulang.
“Hidup ini kadang kayak permainan,” katanya pelan. “Kita nggak bisa kendalikan semua hal, tapi kita bisa pilih untuk terus main — dan nggak menyerah.”