1. Aroma Roti di Tengah Himpitan Hidup
Pagi itu, aroma roti manis baru matang memenuhi gang sempit di kawasan Tlogosari, Semarang. Siti Maryam (43), perempuan berkerudung dengan tangan berbalut tepung, tengah menata roti sobek buatannya ke dalam toples kaca besar. Ia sudah terbiasa bangun pukul tiga dini hari — bukan untuk beribadah semata, tapi untuk menguleni adonan yang akan menjadi sumber penghidupan keluarganya hari itu.
“Roti ini kayak anak sendiri,” katanya sambil tersenyum kecil. “Kalau terlalu lembek, nanti bantat. Kalau terlalu keras, pembeli nggak balik lagi.” Senyumnya cepat pudar ketika ia menatap timbangan bahan baku di meja kecil yang mulai berkarat. Tepung terigu naik harga, gula juga. Sementara, keuntungan penjualan tak pernah cukup untuk semua tagihan.
2. Anak Pertama, Harapan dan Kekhawatiran
Siti tinggal bersama suami dan dua anaknya di rumah kontrakan berukuran 5x7 meter. Anak sulungnya, Rafi, baru saja diterima di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Sebuah kebanggaan besar, tapi juga kekhawatiran yang menekan dada. Biaya kuliah, tempat kos, dan kebutuhan sehari-hari — semua terasa di luar jangkauan.
“Saya pengin Rafi bisa kuliah tinggi. Tapi jujur, kadang malam saya nggak bisa tidur mikirin uang kiriman bulan depan.”
Siti menolak menyerah. Ia menambah jam jualan, menitipkan roti ke warung-warung, bahkan menerima pesanan kue ulang tahun murah. Namun, semakin keras ia bekerja, semakin berat pula tekanan hidup menghimpit. Pandemi beberapa tahun lalu membuat banyak pelanggan tetapnya gulung tikar, dan kini keadaan belum sepenuhnya pulih.
3. Saat Hidup Memperkenalkan Hal Tak Terduga
Suatu malam, saat kelelahan menyapu wajahnya, Siti berbincang dengan tetangga yang juga penjual gorengan. Mereka berbagi cerita tentang bagaimana mencari tambahan penghasilan. Dari obrolan itulah Siti pertama kali mendengar tentang ritme spin PGSOFT — permainan digital yang katanya bisa memberi keuntungan jika dimainkan dengan strategi dan pengendalian diri.
Awalnya Siti tak paham apa-apa. Ia hanya mendengar istilah “RTP 94,9 persen” dan “spin konsisten” dari tetangganya yang terlihat begitu antusias. Namun karena rasa penasaran, Siti mencoba mempelajarinya perlahan, sambil tetap berjualan. “Saya bukan mau cari kaya, cuma pengin punya tambahan buat bayar kontrakan,” ujarnya lirih.
4. Ritme Spin dan Pelajaran Tentang Harapan
Siti mempelajari pola permainan itu seperti ia mempelajari cara menguleni adonan. Setiap langkah dilakukan dengan sabar, tanpa tergesa. Ia mencatat waktu, putaran, dan hasilnya di buku kecil bergaris, mirip catatan keuangan toko rotinya.
“Kuncinya bukan soal menang terus, tapi soal ngerti ritmenya,” katanya pelan. “Sama kayak bikin roti, kalau terlalu cepat ya gosong, kalau terlalu lama ya basi.”
Dalam beberapa bulan, Siti mulai menemukan irama antara pekerjaannya dan permainan itu. Ia tidak mengandalkan sepenuhnya pada keberuntungan, tapi pada kedisiplinan dan insting. Dari situ, perlahan ia mampu menutupi biaya tambahan untuk kuliah anaknya. Tidak besar, tapi cukup untuk membuatnya tersenyum sedikit lebih tenang.
5. Roti, Ritme, dan Rezeki
Kini, di etalase rotinya, tergantung papan kecil bertuliskan: “Roti hangat, rezeki semangat.” Kalimat sederhana itu jadi pengingat perjalanan panjang seorang ibu yang pernah hampir menyerah. Siti tak lagi melihat hidupnya hanya dari sisi kekurangan, tapi dari setiap putaran kecil yang ia jalani — baik di dapur maupun di layar ponsel.
“Saya tahu ini bukan jaminan hidup enak,” katanya menatap adonan yang mengembang sempurna. “Tapi selama saya masih bisa berjuang dan belajar dari tiap putaran hidup, berarti Tuhan belum menutup jalan saya.”
Dalam setiap roti yang ia jual, ada jejak air mata, keberanian, dan sedikit keberuntungan — hasil dari perjuangan panjang seorang perempuan sederhana dari pinggiran Semarang yang menemukan kembali ritme hidupnya.