PENDEKATAN ‘URF TERHADAP LARANGAN NIKAH LUSAN BESAN MASYARAKAT DESA WONODADI KECAMATAN NGRAYUN PONOROGO

  • Niswatul Hidayati
Abstract views: 8175 , PDF downloads: 797
Untitled downloads: 0
Keywords: ‘urf, lusan besan, tradisi

Abstract

Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada setiap makhluk-Nya, menikah juga salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia yang sudah akil baligh (siap lahir batin). Suku Jawa dikenal sebagai masyarakat yang selalu memegang teguh adat budayanya, salah satu yang paling menonjol yaitu dalam hal pernikahan. Di Desa Wonodadi kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo terdapat larangan nikah lusan besan, yaitu anak ketelu dengan anak kepisan atau calon laki-laki sudah pernah menikah dua kali dan calon perempuan baru pertama kali (duda dua kali dan perawan) atau sebaliknya. Lusan besan merupakan pernikahan antara laki-laki yang dari pihak keluarganya sudah pernah menikahkan dua kali dan ketiga kali untuk calon pengantin sekarang. Adapun masyarakat Ponorogo percaya bahwa ketika larangan nikah lusan besan  ini dilanggar maka pasangan pengantin atau bahkan keluarga dari keduanya akan menemui banyak cobaan. Seperti misalnya, meninggalnya salah satu pasangan, atau malah orang tua dari pasangan tersebut bisa meninggal dunia, serta akan terjadinya hubungan keluarga atau suami istri yang tidak rukun. Berbagai mitos ini masih sangat melekat pada kepercayaan masyarakat Ponorogo. Maka, artikel ini hendak menunjukkan bahwa, pertama, larangan pernikahan lusan besan di Desa Wonodadi kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo dalam perspektif ‘urf merupakan adat istiadat yang tidak harus ditaati karena dalam nash tidak ada ketentuan larangan tersebut. Kedua, adapun ketika pernikahan lusan besan dilangsungkan maka terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya pasangan nikah lusan besan terhindar dari musibah, karena dianggap melanggar tradisi. Ketiga, salah satu syarat dibolehkannya berlangsungnya pernikahan lusan besan di desa Wonodadi kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo yaitu dengan meniadakan wali.

References

Agus, Artatati, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet. ke-1.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, falsafah Hukum Islam, Jakarta: bulan Bintang, 1993.

Haroen, Ushul Fiqih 1, Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 1997.

Huda, Miftahul, Bernegosiasi Dalam Tradisi Perkawinan Jawa; Studi Tentang Lima Keluarga Nahdliyin – Muhammadiyah Ponorogo dalam Menyelesaikan Konflik Larangan-larangan Menikah, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2016.

Kamal, Fahmi, “Perkawinan Adat Jawa dalam Kebudayaan Indonesia”, Jurnal Khasanah Ilmu, Vol. V No. 2, 2014.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia 2007.

Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia, Bandung: Yrama Widya, 2017.

Nasution, Khoiruddin, “ Wali Nikah Menurut Perspektif hadis”, Jurnal Miqot, Vol. XXXIII, No. 2, 2009.

Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007.

https://baabun.com/adat-istiadat-suku-jawa, ( 15 Februari 2018) .

https://www.vemale.com/ragam/111838-5-mitos-larangan-pernikahan-berdasarkan-adat-jawa-percaya-nggak-sih.html (25-10-2018)

https://Www.Inovasee.Com/Mitos-Lusan- Dalam-Adat-Jawa-19080, (15 Februari 2018 ).

PlumX Metrics

Published
2021-08-02
Section
Articles