Menggugat Perkawinan: transformasi kesadaran gender Perempuan dan Implikasinya Terhadap Tingginya Gugat Cerai di Ponorogo
Abstract views: 1308
,
PDF downloads: 1732
Keywords:
transformasi, gugat cerai, perkawinan, perceraian.
Abstract
Abstrak:
Fenomena tingginya gugat cerai di Ponorogo sudah melampaui prilaku perceraian konvensional, talak. Hingga medio Juli 2010, dari 789 kasus perceraian yang terjadi di Ponorogo, 483 kasus merupakan gugat cerai, sisanya 306 cerai talak. Fenomena ini menarik untuk diteliti, mengingat
selama ini dalam tradisi keluarga konvensional, perempuan selalu menjadi objek perceraian, bahkan korban perceraian. Meskipun fakta di persidangan, sebagaimana dilansir Humas Pengadilan Agama Ponorogo, menunjukkan bahwa faktor penyebab tingginya gugat cerai adalah kemandirian ekonomi
perempuan, tapi menurut asumsi penulis kemandirian dan persoalan ekonomi bukanlah faktor yang sebenarnya. Ada fakta yang lebih dalam dari sekedar persoalan ekonomi, yaitu kesadaran dan pemahaman gender pelaku gugat cerai yang sudah mengalamai transformasi. Dalam konteks inilah, penulis ingin mengetahui lebih mendalam apakah keputusan gugat cerai ditentukan oleh tingkat pemahaman dan kesadaran gender pelakunya, dan bagaimana persepsi perempuan subyek gugat cerai terhadap relasi gender. Pendekatan fenomonologis dan perspektif feminis digunakan untuk
membaca dan menganalisis data-data lapangan yang diperoleh dari hasil in-dept interview dan observasi berperan serta. Dari hasil riset tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Keputusan gugat cerai sangat ditentukan oleh transformasi pemahaman dan kesadaran gender para pelakunya.
Mereka menolak semua jenis ketidakadilan gender, stereotipe, diskriminasi, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan berbasis gender. Meskipun begitu, para informan tetap memandang lembaga perkawinan sebagai lembaga yang sakral karena mereka pada umumnya mendambakan perkawinan
menjadi lembaga yang adil bagi perempuan.
Fenomena tingginya gugat cerai di Ponorogo sudah melampaui prilaku perceraian konvensional, talak. Hingga medio Juli 2010, dari 789 kasus perceraian yang terjadi di Ponorogo, 483 kasus merupakan gugat cerai, sisanya 306 cerai talak. Fenomena ini menarik untuk diteliti, mengingat
selama ini dalam tradisi keluarga konvensional, perempuan selalu menjadi objek perceraian, bahkan korban perceraian. Meskipun fakta di persidangan, sebagaimana dilansir Humas Pengadilan Agama Ponorogo, menunjukkan bahwa faktor penyebab tingginya gugat cerai adalah kemandirian ekonomi
perempuan, tapi menurut asumsi penulis kemandirian dan persoalan ekonomi bukanlah faktor yang sebenarnya. Ada fakta yang lebih dalam dari sekedar persoalan ekonomi, yaitu kesadaran dan pemahaman gender pelaku gugat cerai yang sudah mengalamai transformasi. Dalam konteks inilah, penulis ingin mengetahui lebih mendalam apakah keputusan gugat cerai ditentukan oleh tingkat pemahaman dan kesadaran gender pelakunya, dan bagaimana persepsi perempuan subyek gugat cerai terhadap relasi gender. Pendekatan fenomonologis dan perspektif feminis digunakan untuk
membaca dan menganalisis data-data lapangan yang diperoleh dari hasil in-dept interview dan observasi berperan serta. Dari hasil riset tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Keputusan gugat cerai sangat ditentukan oleh transformasi pemahaman dan kesadaran gender para pelakunya.
Mereka menolak semua jenis ketidakadilan gender, stereotipe, diskriminasi, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan berbasis gender. Meskipun begitu, para informan tetap memandang lembaga perkawinan sebagai lembaga yang sakral karena mereka pada umumnya mendambakan perkawinan
menjadi lembaga yang adil bagi perempuan.
Published
2010-12-01
Issue
Section
Articles
Copyright (c) 2010 Kodifikasia
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.