KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK HARTA BERSAMA (Studi di Kabupaten Ponorogo)
Abstract
Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[1]Sedangkan tujuan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[2] Arso Sastroatmdjo mengatakan “pernikahan itu disyariatkan supayamanusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sahmenuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat dibawah naungan cinta kasih dan ridho Ilahi.[3]
Namun seringkali tujuan perkawinan harus kandas di perjalanan. Perkawinan harus putus di tengah jalan dikarenakan adanya konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah sehingga sulit untuk terciptanya kehidupan keluarga yang berisikan semangat kasih sayang, ketentraman serta kebahagiaan. Dalam situasi seperti ini pasangan suami istri tidak bisa meneruskan bahtera rumah tangganya dan berakibat pada retak atau kacaunya rumah tangga, bahkan berujung pada terjadinya perceraian.
Perceraian adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, dan atas keputusan pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Suatu perceraian membawa akibat hukum, diantaranya pengasuhan anah (hadhanah), nafkah anak, nafkah isteri, harta bersama.
Harta Bersama adalah harta benda atau harta kekayaan yang diperoleh saat perkawinan atau karena perkawinan serta selama perkawinan. Di dalam KUHPerdata, Pasal 119 dijelaskan harta bersama adalah persatuan bulat antara harta kekayaan suami istri demi hukum sejak berlangsungnya perkawinan, sejauh tidak diatur dengan ketentuan lainnya.Di Indonesia, mengenai harta perkawinan (harta bersama) telah diatur dalam Bab VII, pasal 35-37; pasal 65 ayat 1 huruf b dan c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, kemudian dilengkapi dan diperjelas dalam Bab XIII, pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam (KHI).[4]
Pembagian harta bersama dalam perkawinan, sering menimbulkan konflik
diantara pihak yang bersangkutan. Pasal 37 menetapkan bahwa apabila
perkawinan putus karena perceraian, maka pembagian harta bersama dapat diatur
menurut hukumnya masing-masing, namun dalam realitanya penyelesaian pembagian harta
bersama seringkali belum memberikan kepastian bahkan di dalam pelaksanaannya pembagian harta bersama dilakukan oleh salah satu pihak tanpa kesepakatan pihak lain yang
bersangkutan. Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup maupun cerai mati, masing-masing mendapat setengah dari harta bersama tersebut.
Copyright (c) 2017 Kodifikasia
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.